Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kelemahan Metode Garis Kemiskinan Konsumsi

Konsep ini merupakan konsep yang digunakan Badan Pusat Statistik untuk menghitung penduduk miskin di Indonesia. Konsep ini menggunakan konsep kemiskinan yang dihubungkan dengan kebutuhan hidup minimal yang layak (basic needs) untuk seseorang/rumah tangga. Kemiskinan dianggap sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar untuk pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya.


Berdasarkan pendekatan basic needs, maka dapat dihitung “garis kemiskinan konsumsi” untuk kemudian dapat dihitung persentase penduduk miskin (Head Count Index). Head Count Index adalah persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi itu sendiri dihitung berdasarkan rata-rata pengeluaran makanan dan bukan makanan per kapita pada kelompok penduduk referensi, yaitu penduduk kelas marjinal yang hidupnya berada sedikit diatas garis kemiskinan konsumsi. Garis kemiskinan konsumsi terdiri dari garis kemiskinan makanan (batas kecukupan konsumsi makanan) dan garis kemiskinan non-makanan (batas kecukupan konsumsi nonmakanan).

Batas kecukupan konsumsi makanan adalah batas kecukupan konsumsi makanan yang dihitung dari banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk makanan yang memenuhi kebutuhan minimum energi 2100 kalori per kapita per hari. Patokan ini mengacu pada hasil Wydia Pangan dan Gizi (1978). Semenjak tahun 1993 penghitungan kecukupan kalori didasarkan pada 52 komoditi makanan terpilih yang telah disesuaikan dengan pola konsumsi, hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) tahun 1993 dan 1996.

Batas kecukupan konsumsi non-makanan dihitung dari besarnya rupiah yang dikeluarkan untuk konsumsi untuk memenuhi kebutuhan minimum nonmakanan, seperti perumahan, sandang, kesehatan, pendididkan, transportasi, dan kebutuhan dasar non-makanan lainnya. Pemilihan jenis konsumsi non-makanan mengalami perkembangan dari satu periode ke periode lainnya. Pada periode sebelum tahun 1993, jumlah jenis konsumsi non-makanan terpilih terdiri dari 14 jenis untuk perkotaan dan 12 jenis untuk pedesaan; sedangkan pada periode sejak tahun 1996 (Hasil SPKKD, 1996), jumlah jenis konsumsi non-makanan terpilih terdiri dari 51 jenis untuk perkotaan dan 47 jenis untuk perdesaan.

Dalam konsep garis kemiskinan pengeluaran/konsumsi ini menggunakan dua jenis pengukuran indeks, yaitu Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index/P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index/P2). 

Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index/P1) adalah ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai indeks maka semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan. Artinya, indeks ini merupakan indikator yang baik tentang kedalaman kemiskinan dan melalui indeks kedalaman kemiskinan inilah dapat diperkirakan besarnya dana yang diperlukan untuk pengentasan kemiskinan. Akan tetapi ukuran ini masih belum realistis karena Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index/P1) belum mempertimbangkan biaya operasional dan faktor penghambat. Meskipun demikian, ukuran tersebut memberikan informasi yang bermanfaat untuk mengetahui skala minimum dari sumber keuangan yang diperlukan untuk menangani masalah kemiskinan. Sebagai ukuran pengentasan kemiskinan, indeks ini sebenarnya cukup memadai karena transfer dana kemiskinan dilakukan dengan target sasaran yang sempurna. Namun indeks ini masih memiliki kelemahan karena mengabaikan ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.


Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Serevity Index/P2) digunakan untuk memecahkan masalah ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin. Dengan mengkuadratakan poverty gap, indeks ini secara tidak langsung memberikan masukan yang lebih pada unit observasi yang semakin jatuh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin.


Kelemahan konsep Garis Kemiskinan Konsumsi
Kelemahan dari konsep Garis Kemiskinan Pengeluaran/Konsumsi adalah bahwa perlu diketahui pendekatan BPS dalam pengukuran kemiskinan memang telah mengikuti ketentuan pengukuran kemsikinan yang dilakukan secara luas di negara lain, tetapi pengukuran ini hanya sebatas pada aspek ekonominya yaitu konsep daya beli melalui pengeluaran/konsumsi rumah tangga dalam rupiah yang tidak sepenuhnya dapat digunakan untuk wilayah kabupaten. Selain itu, penghitungan kemiskinan yang dilakukan setiap 3 tahun sekali melalui Susenas modul konsumsi, dimaksudkan hanya untuk menghasilkan jumlah penduduk miskin miskin aggregat untuk tingkat nasional dan propinsi.

Walaupun BPS, dengan menggunakan data kor Susenas (berdasarkan data pengeluaran rumah tangga per kelompok konsumsi) melakukan penghitungan penduduk miskin untuk kabupaten/kota, tetapi penghitungan tersebut masih dalam struktur garis kemiskinan yang dikaitkan dengan pola konsumsi penduduk miskin propinsi dan didasarkan pada subsample Susenas yang lebih kecil (modul konsumsi) yang hanya mewakili tingkat propinsi. Untuk masalah budaya lokal dan daktor-faktor non-ekonomi dalam konsep ini hanya diasumsikan secara agregatif untuk tingkat propinsi. Faktor komposisi dalam rumah tangga hanya berdasarkan pada jumlah anggota rumah tangga, padahal di dalam rumah tangga itu sendiri banyak variasi sampel mulai dari umur, jenis kelamin dan pekerjaan.

Permasalahan lain dari pengukuran berdasarkan perhitungan basic needs ini adalah bahwa pengukuran atau konsep ini hanya bersifat makro. Artinya, pengukuran ini hanya berdasarkan pada sampel rumah tangga. Konsep ini pada dasarnya sangat bermanfaat untuk memberikan acuan atas alokasi anggaran pengentasan kemiskinan, tetap sayangnya tidak dapat digunakan untuk mengidentifikasi secara langsung untuk mengetahui penduduk miskin di lapangan. Selain itu, konsep ini menggunakan asumsi model keluarga inti (nuclear family) sebagai pengambil keputusan dalam transaksi ekonomi. Akibtanya, konsep ini juga tidak bisa berlaku secara umum untuk daerah lain karena perbedaan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya sangat sensitif.



Sumber:
Hanin Dityasa, (2012). Peranan Wanita Dalam Menunjang Ekonomi Keluarga Miskin Diukur Dari Sisi Pendapatan (Studi Kasus Kecamatan Kaliwungu Kabupaten Kendal). Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2012.

Post a Comment for "Kelemahan Metode Garis Kemiskinan Konsumsi "