Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Teori Permintaan Agregat dan Tingkat Harga

A. Keynes Effect
J.M Keynes melihat bahwa perubahan tingkat harga berpengaruh terhadap tingkat pendapatan nasional equilibrium melalui pengaruhnya terhadap real money supply, yang dapat pula disebut jumlah penawaran uang nyata. Dalam keadaan deflasi, yaitu di mana tingkat harga mengalami penurunan, nilai riil jumlah uang beredar akan mengalami peningkatan. Dengan jumlah uang yang nilai nominalnya sama dalam arti tidak berubah, menurunnya tingkat harga dengan lima puluh persen, misalnya mengakibatkan meningkatnya real money supply menjadi dua kali jumlah semula. Sebaliknya, sebagai akibat adanya inflasi, dengan nominal money supply yang sama dihasilkan real money supply yang lebih sedikit daripada sebelumnya (Soediyono, 2000).
Teori Permintaan Agregat dan Tingkat Harga


Keynes Effect dan Kurva Permintaan Agregat (Soediyono, 2000)
Keynes Effect dan Kurva Permintaan Agregat (Soediyono, 2000)



Pada gambar diatas, mula-mula tingkat harga setinggi 5. Dengan P = 5, real money supply tergambar sebagai garis penawaran uang M5M5. Dengan harga menurun menjadi P = 4, garis penawaran uang nyata bergeser ke M4M4. Selanjutnya apabila tingkat harga menurun lagi ke P = 3, garis real money supply bergeser lagi ke M3M3. Bergesernya garis real supply MM menjauhi titik sumbu silang 0 ini dengan sendirinya mengakibatkan kurva LM bergeser ke kanan, dari LM5 ke LM4 kemudian ke LM3. Dengan bergesernya kurva-kurva LM ini, maka titik equilibrium IS-LM juga pindah, yaitu semula A, kemudian pindah ke B, lalu ke C (Soediyono, 2000). Dari uraian di atas, dapat dilihat hubungan antara tingkat harga dengan tingkat pendapatan nasional yang memenuhi syarat ekuilibriumnya pasar barang dan pasar uang.

B. Pigou Effect
A.C Pigou dalam artikelnya yang sangat terkenal: “The Classical Stationary State”, mencoba menerangkan pengaruh perubahan tingkat harga terhadap kegiatan ekonomi suatu perekonomian melalui pengaruhnya terhadap nilai riil saldo kas masyarakat, yang biasa disebut juga real cash balance. Oleh karena itulah, kiranya mudah dipahami kalau konsepsinya tersebut terkenal dengan sebutan Pigou real cash balance effect, yang biasa juga hanya disingkat Pigou Effect (Soediyono, 2000).

Dengan menurunnya tingkat harga, nilai riil saldo kas seseorang meningkat. Meningkatnya nilai riil saldo kas menyebabkan saldo kas yang semula berada dalam keadaan ekuilibrium oleh rumah tangga pemiliknya terasa terlalu banyak. Terjadilah sekarang keadaan disekuilibrium pada diri konsumen atau rumah tangga tersebut. Mereka ingin mengurangi saldo kasnya sampai pada jumlah yang optimal. Untuk maksud ini mereka akan menambah besarnya pengeluaran konsumsi (Soediyono, 2000).


Pigou Effect dan Kurva Permintaan Agregat (Soediyono, 2000)
Pigou Effect dan Kurva Permintaan Agregat (Soediyono, 2000)



Meningkatnya pengeluaran konsumsi pada tingkat pendapatan yang sama secara grafik tercermin oleh bergesernya kurva atau garis konsumsi menjauhi sumbu pendapatan nasional. Ini berarti juga bahwa kurva atau garis saving bergeser mendekat ke sumbu pendapatan nasional. Atau lebih jelasnya variabel C0 nilainya meningkat dan nilai S0 menurun. Menurunnya nilai S0 pada gambar Pigou Effect (diatas) terungkap dalam bentuk bergesernya garis saving, misalnya dari S5 ke S4, lalu ke S3 (Soediyono, 2000). Bergesernya garis saving tersebut dengan sendirinya akan mengakibatkan bergesernya kurva IS, dari semula IS5 bergeser ke IS4, lalu ke IS3.

Bergesernya kurva IS ini selanjutnya mengakibatkan pindahnya titik ekuilibrium IS-LM dari semula A, ke B, lalu ke C. Dengan pindahnya titik ekuilibrium IS-LM ini berarti tingkat pendapatan nasional ekuilibrium juga berubah dari semula OY5, menjadi OY4, kemudian berubah lagi menjadi OY3. Secara grafik kurva permintaan agregat pada gambar Pigou Effect dan Kurva Permintaan Agregat diatas berhasil diturunkan dari kuadran IS-LM. Hasilnya adalah kurva abc pada kuadran tengah paling bawah.


C. Keynes Effect, Pigou Effect, dan Permintaan Agregat
Setelah mengetahui bagaimana pengaruh Keynes Effect dan Pigou Effect mempengaruhi kegiatan ekonomi dalam suatu masyarakat, dan disamping itu telah diketahui pula bagaimana kedua macam pengaruh tersebut secara sendiri-sendiri menghasilkan kurva permintaan agregat, adalah logis kalau dipermasalahkan juga bagaimana cara menurunkan kurva permintaan agregatif apabila dalam perekonomian Keynes Effect dan Pigou Effect bekerja berdampingan (Soediyono, 2000).

Telah diketahui bahwa adanya Keynes effect terlihat dalam bentuk bergesernya garis penawaran uang riil dari M5M5 ke M4M4 kemudian M3M3 sebagai akibat menurunnya tingkat harga dari semula 5, berubah menjadi 4, kemudian berubah lagi menjadi 3. Bergesernya kurva penawaran uang riil ini selanjutnya mengakibatkan bergesernya kurva LM, dari LM5 ke LM4 lalu ke LM3. Pigou effect di lain pihak terlihat dari bergesernya kurva IS dari IS5 ke IS4, kemudian IS3, yang diakibatkan oleh berubahnya tingkat harga yang sama, yaitu dari 5 ke 4 lalu ke 3 (Soediyono, 2000).

Setelah mengetahui pergeseran kurva IS dan LM, langkah selanjutnya adalah menemukan titik ekuilibrium IS-LM. Dalam mencoba menemukan titik-titik ekuilibrium tersebut perlu hati-hati. Sebab dengan tiga kemungkinan tingkat harga, sudah ditemukan sembilan titik potong IS-LM. Padahal untuk masing-masing tingkat harga hanya terdapat satu titik ekuilibrium IS-LM. Sebagai pegangan dalam menemukan titik ekuilibrium ISLM dapat diketengahkan bahwa hanya titik-titik potong kurva IS dengan kurva LM pada tingkat harga yang sama sajalah yang merupakan titik-titik ekuilibrium IS-LM. Dalam gambar Keynes Effect, Pigou Effect dan Kurva Permintaan Agregat (dibawah), titik-titik potong IS-LM yang merupakan titik-titik ekuilibrium IS-LM hanyalah titik-titik potong A, B, dan C (Soediyono, 2000).

Setelah menemukan titik-titik ekuilibrium IS-LM, langkah-langkah selanjutnya dalam menurunkan kurva permintaan agregat tidak berbeda dengan sebelumnya. Yaitu titik-titik ekuilibrium IS-LM A, B dan C di bawa ke kuadran tengah paling bawah, kuadran yang dapat kita sebut sebagai kuadran permintaan-penawaran agregatif, yang kemudian dari masing-masing titik tersebut ditempatkan pada tingkat harga masing-masing. Pada gambar Keynes Effect, Pigou Effect dan Kurva Permintaan Agregat (dibawah), kurva permintaan agregat yang dihasilkan adalah kurva abc.


Keynes Effect, Pigou Effect dan Kurva Permintaan Agregat (Soediyono, 2000)
Keynes Effect, Pigou Effect dan Kurva Permintaan Agregat (Soediyono, 2000)



D. Bentuk Kurva Permintaan Agregat
Mudah dipahami kalau kurva permintaan agregat bentuknya dipengaruhi oleh bentuk kurva-kurva yang merupakan unsur daripada kurva permintaan agregat tersebut. Sehubungan dengan ini, dapat dibedakan antara bentuk kurva permintaan agregat yang diturunkan dari asumsi-asumsi klasik dengan bentuk kurva permintaan agregat yang diturunkan dari asumsi-asumsi Keynes.


Bentuk Kurva Permintaan Agregatif, Asumsi Klasik Lawan Asumsi Keynes (Soediyono, 2000)
Bentuk Kurva Permintaan Agregatif, Asumsi Klasik Lawan Asumsi Keynes (Soediyono, 2000)



Pada gambar Bentuk Kurva Permintaan Agregatif diatas, di mana agDC merupakan kurva permintaan agregat dengan asumsi klasik, sedangkan agDK merupakan kurva permintaan agregat dengan asumsi Keynes.

Sebagai konsekuensi dipergunakannya asumsi adanya jerat likuiditas atau liquidity trap dan atau inelastis sempurnanya kurva permintaan investasi agregat pada bagian sebelah kanan kurva tersebut, maka kurva permintaan agregat dengan asumsi Keynes pada tingkat-tingkat harga yang tinggi bentuknya sama dengan bentuk yang dimiliki oleh kurva permintaan agregat dengan asumsi klasik. Tetapi mulai tingkat harga dengan kerendahan tertentu kurva permintaan agregat Keynes menurun lebih cepat dan bahkan akhirnya dapat sejajar dengan sumbu tingkat harga.

Sebaliknya dengan menggunakan asumsi-asumsi Klasik, yang boleh dikatakan tidak mengakui kemungkinan adanya liquidity trap dan fungsi permintaan Investasi dengan elastisitas yang sangat rendah, dihasilkan kurva permintaan agregat yang bentuknya seperti terlihat pada gambar Bentuk Kurva Permintaan Agregatif diatas, sebagai kurva agDC.


Bentuk Kurva Permintaan Agregatif dengan Adanya Jerat Likuiditas (Soediyono, 2000)
Bentuk Kurva Permintaan Agregatif dengan Adanya Jerat Likuiditas (Soediyono, 2000)



Mengenai bagaimana liquidity trap menghasilkan kurva permintaan agregat yang inelastis sempurna dapat diuraikan dengan menggunakan gambar Bentuk Kurva Permintaan Agregatif dengan Adanya Jerat Likuiditas (diatas). Bekerjanya Keynes effect menggeser kurva LM ke kanan. Dalam contoh sebagai akibat menurunnya tingkat harga dari 6 ke 5, kemudian ke 4, dan seterusnya, kurva LM bergeser dari semula LM6 ke LM5, lalu ke LM4, dan seterusnya. Ini selanjutnya mengakibatkan titik ekuilibrium IS-LM pindah dari A ke B, kemudian ke C dan seterusnya.

Sekalipun kurva LM terus bergeser ke kanan sebagai akibat bekerjanya Keynes effect, namun sebagai akibatnya adanya liquidity trap, bergesernya titik equilibrium IS-LM akan ”terjerat” pada titik D oleh jerat likuiditas atau liquidity trap tersebut. Dengan terjeratnya titik ekuilibrium IS-LM pada titik D, tingkat bunga tidak akan menurun lebih rendah daripada Ort, dan tingkat pendapatan nasional tidak akan melampaui Oyt. Selanjutnya hal ini mempunyai makna bahwa mulai dari tingkat harga 3 turun ke bawah, kurva permintaan agregat bergerak sejajar dengan sumbu harga.


Sumber:
Nugroho, (2012). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia Periode 2000 – 2011. Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2012.

1 comment for "Teori Permintaan Agregat dan Tingkat Harga"