Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tinjauan Teori Tentang Kinerja SDM

A. Pengertian Kinerja SDM
Tinjauan Teori Tentang Kinerja SDM

Kinerja SDM merupakan isilah yang berasal dari kata Job Performance atau Actual Performance yang berarti prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang. Definisi kinerja karyawan yang dikemukakan Kusriyanto (1991:3) yang dikutip oleh Mangkunegara (2005:9) adalah: ”Perbandingan hasil yang dicapai dengan peran serta tenaga kerja per satuan waktu (lazimnya per jam)”. Gomez (1995:195) seperti yang dikutip pula oleh Mangkunegara (2005:9) mengemukakan definisi kinerja karyawan sebagai: ”Ungkapan seperti output, efesiensi serta efektivitas sering dihubungkan dengan produktifitas”. Selanjutnya definisi kinerja karyawan menurut Mangkunegara (2000:67) bahwa ”Kinerja karyawan (prestasi kerja) adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kinerja SDM adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai SDM per satuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.


B. Pengertian Evaluasi/Penilaian kinerja
Evaluasi kinerja atau penilaian prestasi karyawan yang dikemukakan Leon C. Menggison (1981:310) dalam Mangkunegara (2000:69) adalah sebagai berikut: ”penilaian prestasi kerja (Performance Appraisal) adalah suatu proses yang digunakan pimpinan untuk menentukkan apakah seorang karyawan melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggng jawabnya”. Selanjutnya Andrew E. Sikula (1981:2005) yang dikutip oleh Mangkunegara (2000:69) mengemukakan bahwa ”penilaian pegawai merupakan evaluasi yang sistematis dari pekerjaan pegawai dan potensi yang dapat dikembangkan. Penilaian dalam proses penafsiran atau penentuan nilai, kualitas atau status dari beberapa obyek orang ataupun sesuatu (barang)”.

Selanjutnya Menurut Siswanto (2001:35) penilaian kinerja adalah: ” suatu kegiatan yang dilakukan oleh Manajemen/penyelia penilai untuk menilai kinerja tenaga kerja dengan cara membandingkan kinerja atas kinerja dengan uraian / deskripsi pekerjaan dalam suatu periode tertentu biasanya setiap akhir tahun.” Anderson dan Clancy (1991) sendiri mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “Feedback from the accountant to management that provides information about how well the actions represent the plans; it also identifies where managers may need to make corrections or adjustments in future planning andcontrolling activities” sedangkan Anthony, Banker, Kaplan, dan Young (1997) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai: “the activity of measuring the performance of an activity or the value chain”. Dari kedua definisi terakhir Mangkunegara (2005:47) menyimpulkan bahwa pengukuran atau penilaian kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada peruisahaan. Hasil pengukuran tersebut digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi, pelaksanaan suatu rencana dan apa yang diperlukan perusahaan dalam penyesuaian-penyesuaian dan pengendalian.

Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa evaluasi kinerja adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan karyawan dan kinerja organisasi. Disamping itu, juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tanggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.


C. Tujuan Penilaian/Evaluasi Kinerja
Tujuan evaluasi kinerja adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan kinerja dari SDM organisasi. Secara lebih spesifik, tujuan dari evaluasi kinerja sebagaimana dikemukakan Sunyoto (1999:1) yang dikutip oleh Mangkunegara (2005:10) adalah:

  1. Meningkatkan Saling pengertian antara karyawan tentang persyaratan kinerja.
  2. Mencatat dan mengakui hasil kerja seorang karyawan, sehingga mereka termotivasi untuk berbuat yang lebih baik, atau sekurang-kurangnya berprestasi sama dengan prestasi yang terdahulu.
  3. Memberikan peluang kepada karyawan untuk mendiskusikan keinginan dan aspirasinya dan meningkatkan kepedulian terhadap karier atau pekerjaan yang di embannya sekarang.
  4. Mendefinisikan atau merumuskan kembali sasaran masa depan, sehingga karyawan termotivasi untuk berprestasi sesuai dengan potensinya.
  5. Memeriksa rencana pelaksanaan dan pengembangan yang sesuai dengan kebutuhan pelatihan, khusus rencana diklat, dan kemudian menyetujui rencana itu jika tidak ada hal-hal yang perlu diubah.


Kegiatan penilaian kinerja sendiri dimaksudkan untuk mengukur kinerja masing-masing tenaga kerja dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas kerja, sehingga dapat diambil tindakan yang efektif semisal pembinaan berkelanjutan maupun tindakan koreksi atau perbaikan atas pekerjaan yang dirasa kurang sesuai dengan deskripsi pekerjaan. Penilaian kinerja terhadap tenaga kerja biasanya dilakukan oleh pihak manajemen atau pegawai yang berwenang untuk memberikan penilaian terhadap tenaga kerja yang bersangkutan dan biasanya merupakan atasan langsung secara hierarkis atau juga bisa dari pihak lain yang diberikan wewenang atau ditunjuk langsung untuk memberikan penilaian. Hasil penilaian kinerja tersebut disampaikan kepada pihak manajemen tenaga kerja untuk mendapatkan kajian dalam rangka keperluan selanjutnya, baik yang berhubungan dengan pribadi tenaga kerja yang bersangkutan maupun yang berhubungan dengan perusahaan.

Dalam melakukan penilaian kinerja terhadap seorang tenaga kerja, pihak yang berwenang dalam memberikan penilaian seringkali menghadapi dua alternatif pilihan yang harus diambil: pertama, dengan cara memberikan penilaian kinerja berdasarkan deskripsi pekerjaan yang telah ditetapkan sebelumnya; kedua, dengan cara menilai kinerja berdasarkan harapan-harapan pribadinya mengenai pekerjaan tersebut. Kedua alternatif diatas seringkali membingungkan pihak yang berwenang dalam memberikan penilaian karena besarnya kesenjangan yang ada diantara kedua alternatif tersebut sehingga besar kemungkinan hanya satu pilihan alternatif yang bisa dipergunakan oleh pihak yang berwenang dalam melakukan penilaian

Penentuan pilihan yang sederhana adalah menilai kinerja yang dihasilkan tenaga kerja berdasarkan deskripsi pekerjaan yang telah ditetapkan pada saat melaksanakan kegiatan analisis pekerjaan. Meskipun kenyataannya, cara ini jarang diperoleh kepastian antara pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh seorang tenaga kerja dengan deskripsi pekerjaan yang telah ditetapkan. Karena seringkali deskripsi pekerjaan yang etrtulis dalam perusahaan kurang mencerminkan karakteristik seluruh persoalan yang ada.

Kebiasaan yang sering dialami tenaga kerja adalah meskipun penilaian kinerja telah selesai dilakukan oleh pihak yang berwenang dalam melakukan penilaian, tenaga kerja yang bersangkutan tetap kurang mengetahui seberapa jauh mereka telah memenuhi apa yang mereka harapkan. Seluruh proses tersebut (penilaian kinerja) analisis dan perencanaan diliputi oleh kondisi yang tidak realistis semisal permaian, improvisasi, dan sebagainya. Jalan yang lebih berat bagi pihak yang berwenang dalam melakukan penilaian adalah menentukan hal-hal yang sebenarnya diharapkan tenaga kerja dalam pekerjaan saat itu.

Cara menghindarkan hal tersebut biasa dilakukan manajemen adalah dengan cara menanyakan pada masing-masing tenaga kerja untuk merumuskan pekerjaanya. Meskipun cara ini sebenarnya agak bertentangan dengan literatur ketenaga kerjaan yang ada. Dengan alasan para tenaga kerja cenderung merumuskan pekerjaan mereka dalam arti apa yang telah mereka kerjakan, bukannya apa yang diperlukan oleh perusahaan. Hal ini bukan berarti tenaga kerja tidak memiliki hak suara dalam merumuskan deskripsi pekerjaan mereka. Mereka juga membantu merumuskan pekerjaan secara konstruktif, karena kesalahan bukan karena tenaga kerja tidak diminta untuk membantu merumuskan pekerjaan, tetapi karena seluruh beban pekerjaan dilimpahkan diatas pundak mereka.


D. Sasaran Penilaian/Evaluasi Kinerja
Sasaran-sasaran dan evaluasi kinerja karyawan yang dikemukakan Sunyoto (1999:1) yang dikutip oleh Mangkunegara (2005:11) sebagai berikut:

  1. Membuat analisis kinerja dari waktu yang lalu secara berkesinambungan dan periodik, baik kinerja karyawan maupun kinerja organisasi.
  2. Membuat evaluasi kebutuhan pelatihan dari para karyawan melalui audit ketrampilan dan pengetahuan sehingga dapat mengembangkan kemampuan dirinya. Atas dasar evaluasi kebutuhan pelatihan itu dapat menyelenggarakan program pelatihan dengan tepat.
  3. Menentukan sasaran dari kinerja yang akan datang dan memberikan tanggung jawab perorangan dan kelompok sehingga untuk periode selanjutnya jelas apa yang harus diperbuat oleh karyawan, mutu dan laku yang harus dicapai, sarana dan prasarana yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja karyawan.
  4. Menemukan potensi karyawan yang berhak memperoleh promosi, dan kalau mendasarkan hasil diskusi antara karyawan dengan pimpinannya itu untuk menyusun suatu proposal mengenai sistem promosi maupun sistem imbalan (Reward)


Evaluasi kinerja merupakan sarana untuk memperbaiki mereka yang tidak melakukan tugasnya dengan baik di dalam organisasi. Banyak organisasi berusaha mencapai sasaran dalam suatu kedudukan yang terbaik dan terpercaya dalam bidangnya. Untuk itu sangat tergantung dari para pelaksanaannya, yaitu para karyawannya agar mereka mencapai sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi dalam Corporate Planning-nya. Untuk itu pula, perhatian hendaknya ditujukan kepada kinerja, suatu konsepsi atau wawasan bagaimana sumber daya manusia bekerja agar mencapai hasil yang terbaik. Hal ini berarti bahwa manajer harus dapat memimpin orang-orang dalam melaksanakan kegiatan dan membina mereka sama pentingnya dan sama berharganya dengan kegiatan organisasi. Jadi fokusnya adalah kepada kegiatan bagaimana usaha untuk selalu memperbaiki dan meningkatkan kinerja dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Untuk mencapai itu perlu diubah cara bekerja sama dan bagaimana melihat atau meninjau kinerja itu sendiri. Dengan demikian, pimpinan dan karyawan yang bertanggung jawab secara langsung dalam pelaksanaan evaluasi kinerja harus pula dievaluasi secara periodik.



E. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pencapaian Kinerja
Faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Davis dalam Mangkunegara (2005:13) yang merumuskan bahwa

Human Performance = Ability x Motivation
Motivation = Attitude x Situation
Ability = Knowledge x Skill

1. Faktor Kemampuan (Ability)
Secara psikologis, kemampuan (ability) terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + Skill).

Artinya, pimpinan dan karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata (IQ 110-120) apalagi IQ superior, very superior, gifted dan genius dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.

2. Faktor Motivasi (Motivation)
Motivasi diartikan sebagai suatu sikap (attitude) pimpinan dan karyawan terhadap situasi kerja (situation) di lingkungan organisasinya. Mereka yang bersifat positif (pro) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif (kontra) terhadap situasi kerjanya akan menunjukan motivasi kerja yang rendah. Situasi kerja yang dimaksud mencakup antara lain hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan pimpinan, pola kepemimpinan kerja dan kondisi kerja.

Menurut Simamora (1995:60) yang dikutip oleh Mangkunegara (2005:14), kinerja (performance) dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:
1. faktor individual yang terdiri dari:
a. Kemampuan dan keahlian
b. Latar belakang
c. Demografi

2. Faktor psikologis yang terdiri dari:
a. Persepsi
b. Attitude
c. Personality
d. Pembelajaran
e. Motivasi

3. Faktor organisasi yang terdiri dari :
a. Sumber daya
b. Kepemimpinan
c. Penghargaan
d. struktur
e. Job Design

Sementara menurut Timple (1992:31) yang dikutip oleh Mangkunegara (2005:15) faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang itu mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya.

Faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim organisasi. Faktor internal dan faktor eksternal ini merupakan jenis-jenis atribusi yang mempengaruhi kinerja seseorang. Jenis-jenis atribusi yang dibuat para karyawan memiliki sejumlah akibat psikologis dan berdasarkan pada tindakan. Seorang karyawan yang menganggap kinerjanya baik berasal dari faktor-faktor internal seperti kemampuan atau upaya, orang tersebut tentunya akan mengalami lebih banyak perasaan positif tentang kinerjanya dibandingkan dengan jika ia menghubungkan kinerjanya yang baik dengan faktor eksternal.

Jenis atribusi yang dibuat seorang pimpinan tentang kinerja seorang bawahan mempengaruhi sikap dan perilaku terhadap bawahan tersebut. Misalnya, seorang pimpinan yang mempermasalahkan kinerja buruk seorang bawahannya karena kekurangan ikhtiar mungkin diharapkan mengambil tindakan hukum, sebaliknya pimpinan yang tidak menghubungkan dengan kinerja buruk dengan kekurangan kemampuan/ketrampilan, maka pimpinan akan merekomendasikan suatu program pelatihan di dalam maupun diluar perusahaan. Oleh karena itu, jenis atribusi yang dibuat oleh seorang pimpinan dapat menimbulkan akibat-akibat serius dalam cara bawahan tersebut diperlakukan. Cara-cara seorang karyawan menjelaskan kinerjanya sendiri juga mempunyai implikasi penting dalam bagaimana dia berprilaku dan berbuat di tempat kerja.

Mangkunegara (2005:16) menyimpulkan bahwa faktor-faktor penentu prestasi kerja adalah faktor individu dan faktor lingkungan kerja organisasinya. Dimana dalam faktor individu secara psikologis dijelaskan bahwa, individu yang normal adalah individu yang memilki integritas yang tinggi antara fungsi psikis (rohani) dan fisiknya (jasmani) dengan adanya integritas yang tinggi antara fungsi psikis dan fisik, maka individu tersebut memiliki konsentrasi diri yang lebih baik. Konsentrasi yang baik ini merupakan modal utama individu manusia untuk mampu mengeloladan mendayagunakan potensi dirinya secara optimal dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas kerja sehari-hari dalam mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, tanpa adanya konsentrasi yang baik dari individu dalam bekerja, maka mimpi pimpinan mengharapkan mereka dapat bekerja produktif dalam mencapai tujuan organisasi.

Konsentrasi individu dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh kemampuan potensi, yaitu kecerdasan pikiran / Intelegence Quotiont (IQ) dan kecerdasan emosi / Emotional Quotiont (EQ). Pada umumnya, individu yang mampu bekerja dengan penuh konsentarasi apabila ia memiliki tingkat intelegensi minimal normal (average, above average, superior, very superior, dan gifted) dengan tingkat kecerdasan emosi baik (tidak merasa bersalah yang berlebihan, tidak mudah marah, tidak dengki, tidak benci, tidak iri hati, tidak pendendam, tidak sombong, tidak minder, tidak mudah cemas, memiliki pandangan dan pedoman hidup yang jelas, dsb)

Faktor lingkungan kerja organisasi sendiri sangat menunjang bagi individu dalam mencapai prestasi kerja. Faktor lingkungan organisasi yang dimaksud antara lain uraian jabatan yang jelas, otoritas yang memadai, target kerja yang menantang, pola komunikasi kerja yang efektif, hubungan kerja yang harmonis, iklim kerja yang dinamis, peluang berkarier dan fasilitas kerja yangmemadai dan sebagainya. Sekalipun, jika faktor lingkungan organisasi kurang menunjang, maka bagi individu yang memiliki tingkat kecerdasan pikiran memadai dengan tingkat kecerdasan emosi yang baik, sebenarnya ia tetap dapat berprestasi dalam bekerja. Hal ini bagi individu tersebut, lingkungan organisasi itu dapat diubah dan bahkan dapat diciptakan oleh dirinya serta merupakan pemacu (motivator) tantangan bagi dirinya dalam berprestasi di organisasinya.



F. Aspek-Aspek Standar Pekerjaan dan Kinerja
Dalam menentukan penilaian kinerja atas sorang tenaga kerja tentunya ada aspek-aspek yang menjadi titik tolak pengukuran walaupun sampai sekarang belum ada kesamaan antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya dalam menntukan unsur yang harus dinilai dalam proses penilaian kinerja yang dilakukan manajemen atau pihak yang berwenang memberikan penilaian. Hal ini disebabkan selain terdapat perbedaan yang diharapkan dari masing-masing perusahaan, juga karena belum terdapat standar baku tentang unsur-unsur yang harus diadakan dalam penilaian.

Malayu S.P Hasibuan (2000:31) seperti yang dikutip oleh Mangkunegara (2005:17) mengemukakan bahwa aspek-aspek yang dinilai dalam penilaian kinerja mencakup sebagai berikut: Kesetiaan, Hasil kerja, Kejujuran, Kedisiplinan, Kreativitas, Kerjasama, Kepemimpinan, Kepribadian, Prakarsa, Kecakapan, dan Tanggung jawab.

Sedangkan Husein Umar (1997:266), membagi aspek-aspek kinerja sebagai berikut: Mutu Pekerjaan, Kejujuran karyawan, Inisiatif, Kehadiran, Sikap, Kerjasama, Keandalan Pengetahuan tentang pekerjaan, Tanggung jawab, dan Pemanfaatan aspek kerja.

Adapun aspek-aspek standar pekerjaan terdiri dari aspek kuantitatif dan aspek kualitatif. Aspek kuantitatif meliputi:
a. Proses kerja dan kondisi pekerjaan,
b. waktu yang dipergunakan atau lamanya melaksanakan pekerjaan,
c. jumlah kesalahan dalam melaksanakan pekerjaan, dan
d. Jumlah dan jenis pemberian pelayanan dalam bekerja.

Sedangkan aspek kualitatif meliputi:
a. ketepatan kerja dan kualitas pekerjaan,
b. Tingkat kemampuan dalam bekerja,
c. Kemampuan menganalisis data/informasi, kemampuan/kegagalan menggunakan mesin/peralatan, dan
d. Kemampuan mengevaluasi (keluhan/keberatan konsumen)



Sumber:
Anonim, 2003. Guide to a Balanced Scorecard Performance Management Methodology. Procurement Executive’s Association.
Bourdieu, P, 2006 Menyelami Dunia Televisi, Freedom Press. Yogyakarta.
Effendy, H. 2002. Mari Membuat Film, Panduan Menjadi Produser, Pustaka Konfiden, Jakarta.
Jahja, Rusfadia S. dan Muhammad .I, 2006. Menilai Tanggung Jawab Sosial Televisi, Penerbit Piramedia, Depok.
Kaplan, S. & Norton. P. D. 2002. Balanced Scorecard- Measures That Drive Performance. Harvard Business Review.
Mangkunegara, A.A., 2005. Evaluasi kinerja SDM, Refika Aditama, Bandung.
Naratama, 2004. Menjadi Sutradara Televisi, Grasindo, Jakarta
Niven, R.P, 2002. Balanced Scorecard: Step-By-Step, Jhon Willey & Son, Inc. New York.
Panjaitan, E. L. & TM. Iqbal. 2006. Matinya Rating Televisi Ilusi Sebuah Netralitas, Buku Obor, Jakarta.
Sastrahardiwiryo, S, 2001, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia, Penerbit Bumi Aksara Jakarta
Setyobudi, C, 2005. Pengantar Teknik Broadcasting Televisi, Penerbit Graha Ilmu, yogyakarta.

Post a Comment for "Tinjauan Teori Tentang Kinerja SDM"