Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kemiskinan dan Kapasitas Fiskal di Indonesia

Sudah lebih dari 66 tahun sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya, namun masih banyak permasalahan yang belum dapat terselesaikan. Salah satu permasalahan terbesar bagi Bangsa Indonesia yaitu masih tingginya angka kemiskinan. Anggaran untuk penanggulangan kemiskinan dari APBN dan volume utang untuk pembiayaan pembangunan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, tetapi jumlah orang miskin sendiri masih sulit diturunkan.
.


Grafik Anggaran dan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia Tahun 2004 – 2010 menggambarkan bahwa anggaran yang disediakan pemerintah untuk mengurangi kemiskinan pada tahun 2004 sebesar Rp 18 Triliun dengan angka kemiskinan sebesar 16,7%. Pada tahun 2005, anggaran kemiskinan naik menjadi RP 23 Triliun, yang dapat menurunkan angka kemiskinan menjadi 16% saja. Anggaran untuk tahun 2006 naik hampir dua kali lipat anggaran tahun sebelumnya, menjadi Rp 42 Triliun, yang sayangnya pada tahun ini angka kemiskinan malah naik menjadi 17,8%. Hal ini dikarenakan naiknya harga BBM yang memicu naiknya harga berbagai macam barang, sehingga menyebabkan inflasi tahun 2006 mencapai 17,59%. Tingginya inflasi mengakibatkan penduduk tidak miskin yang pendapatannya berada di sekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi penduduk miskin. Pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, anggaran untuk pengentasan kemiskinan terus naik, sampai Rp 94 Triliun di tahun 2010 sedangkan angka kemiskinan turun sangat pelan, pada tahun 2010 hanya turun sampai 13,3%.




Anggaran dan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia Tahun 2004–2010

Anggaran dan Pengurangan Kemiskinan di Indonesia Tahun 2004–2010
Sri Hartati Samhadi dalam tulisannya yang berjudul Politik Anggaran yang Tak Memihak Orang Miskin menyebutkan bahwa sebelum krisis pada tahun 1997, APBN kurang dari Rp 100 triliun dan PDB sebesar Rp 877 triliun jumlah penduduk miskin sekitar 22 juta jiwa. Pada tahun 2011 ini, APBN mencapai lebih dari Rp 1.200 triliun dan PDB mendekati Rp 7.000 triliun, tetapi jumlah penduduk miskin malah meningkat sampai hampir 31 juta jiwa. APBN lebih banyak digunakan untuk membiayai belanja rutin atau membiayai birokrasi, yang pada kenyataannya tidak dapat menjalankan fungsinya. Anggaran untuk belanja pegawai, tunjangan, fasilitas, dan biaya perjalanan serta membayar utang terus meningkat. Sedangkan anggaran untuk subsidi dan belanja sosial turun. Hal ini menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat (Korupsi yang Memiskinkan, Maria Hartiningsih (Ed), 2011).




Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2011
Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2011



Grafik Persentase Penduduk Miskin menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2010-2011 menunjukkan persentase garis kemiskinan di Provinsi Indonesia pada tahun 2010 sampai 2011 menurut BPS. Provinsi dengan persentase garis kemiskinan tertinggi di tahun 2010 adalah Provinsi Papua (31,98 persen), Provinsi Papua Barat (31,92 persen), Provinsi Grontalo (23,00 persen), Provinsi Nusa Tenggara Timur (21,23 persen), dan Provinsi Nusa Tenggara Barat (19,73 persen). Sedangkan Provinsi dengan persentase garis kemiskinan terendah di tahun yang sama yaitu Provinsi DKI Jakarta (3,75 persen), Provinsi Bali (4,20 persen), Provinsi Kalimantan Selatan (5,29 persen), dan Provinsi Bangka Belitung (5,57 persen).

Persentase garis kemiskinan pada tahun 2011 di 28 Provinsi mengalami kenaikan dibanding dengan persentase garis kemiskinan pada tahun 2010, dan sisanya sebanyak 5 Provinsi berhasil menurunkan persentase garis kemiskinannya. Provinsi dengan persentase garis kemiskinan tertinggi pada tahun 2011 adalah Provinsi Papua (36,80 persen), Provinsi Papua Barat (34,88 persen), Provinsi Maluku (27,74 persen), Provinsi Gorontalo (23,19 persen), dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (23,03 persen). Sedangkan Provinsi dengan persentase garis kemiskinan terendah yaitu Provinsi DKI Jakarta (3,48 persen), Provinsi Bali (4,88 persen), Provinsi Kalimantan Selatan (5,21 persen), Provinsi Bangka Belitung (6,51 persen), dan Provinsi Kalimantan Tengah (6,77 persen).

Angka kemiskinan ini hanya menghitung penduduk yang masuk kategori miskin absolut yang diukur dari pendapatan pada standar yang minim. Angka ini belum mencerminkan kemiskinan yang sebenarnya terjadi di Indonesia pada berbagai dimensi. Selain itu, BPS juga belum memasukkan penduduk yang tergolong tidak miskin tetapi sangat rentan kemiskinan, yang mana jumlahnya lebih banyak dibandingkan penduduk yang miskin absolut. Apabila menghitung garis kemiskinan dengan menggunakan standar internasional, yaitu pendapatan US$ 2 per hari, jumlah penduduk miskin di Indonesia akan semakin membengkak mencapai 42 persen.

Kemiskinan yang terjadi di Indonesia menurut Sri Hartati Samhadi, dapat terlihat antara lain dari semakin luasnya daerah miskin dalam peta kemiskinan, banyaknya daerah tertinggal, memburuknya angka kematian ibu dan bayi, tingginya kekurangan gizi dan busung lapar, tingginya jumlah anak putus sekolah, banyaknya jumlah penduduk yang dianggap pantas menerima beras miskin dan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), tingginya proporsi pekerja informal, tingginya proporsi penduduk tanpa akses ke hak-hak dasar, dominannya angkatan kerja berpendidikan SD ke bawah, tingginya angka bunuh diri dan kriminalitas dengan alasan kesulitan ekonomi, dan meluasnya permukiman kumuh perkotaan (Korupsi yang Memiskinkan, Maria Hartiningsih (Ed), 2011).


Kondisi Kemiskinan di Indonesia (Data 2010-2011)
a. Kemiskinan dan Kapasitas Fiskal
b. Kemiskinan dan IPM
c. Kemiskinan dan Korupsi


Sumber:
Septiana, (2012). Analisis Hubungan Ipm, Kapasitas Fiskal, Dan Korupsi Terhadap Kemiskinan Di Indonesia. Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2012.

Post a Comment for "Kemiskinan dan Kapasitas Fiskal di Indonesia"