Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Inflasi Di Indonesia Periode 2000 – 2011

Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang selalu menarik dibahas terutama berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap ekonomi makro, seperti pertumbuhan ekonomi, keseimbangan eksternal, daya saing, tingkat bunga, bahkan distribusi pendapatan. (Susanti dkk, 1995:41).

Inflasi merupakan dilema yang menghantui perekonomian setiap negara. Perkembangannya yang terus meningkat memberikan hambatan pada pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik. Banyak kajian membahas inflasi, tidak hanya cakupan regional, nasional, namun juga internasional. Inflasi cenderung terjadi pada negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia dengan struktur perekonomian bercorak agraris. Kegagalan atau guncangan dalam negeri akan menimbulkan fluktuasi harga di pasar domestik dan berakhir dengan inflasi pada perekonomian (Baasir, 2003:265).

Krisis ekonomi yang dipicu oleh gejolak nilai tukar rupiah telah berdampak sangat luas pada seluruh sendi perekonomian dan tatanan kehidupan (Anwar Nasution, 2001). Krisis ekonomi yang telah terjadi, paling tidak dalam konteks ini, memberikan pelajaran yang berharga akan pentingnya penciptaan kestabilan moneter (kestabilan nilai rupiah) sebagai prasyarat bagi kelangsungan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (Achyar Ilyas, 1999).

Kesadaran untuk memetik hikmah dari pengalaman itu pula yang kemudian melahirkan persetujuan DPR atas UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan suatu perubahan yang sangat mendasar dalam hal pengelolaan moneter (Anwar Nasution, 2001). Undang-Undang Bank Sentral Indonesia yang baru ini, memiliki muatan substansi yang berbeda dalam hal penanganan kebijakan moneter di Indonesia dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya. Perbedaan tersebut salah satunya adalah pada sasaran akhir kebijakan moneter yang lebih diarahkan untuk menjaga inflasi (Achyar Ilyas dalam Didik J Rachbini dkk, 2000). Pemilihan inflasi sebagai sasaran akhir ini sejalan pula dengan kecenderungan perkembangan terakhir bank-bank sentral di dunia, di mana banyak bank sentral yang telah beralih lebih memfokuskan diri pada upaya pengendalian inflasi.

Dampak Dampak Inflasi
Inflasi merupakan fenomena ekonomi yang selalu menarik untuk dibahas terutama berkaitan dengan dampaknya yang luas terhadap agregat makro ekonomi, antara lain:

  1. Pertama, inflasi domestik yang tinggi menyebabkan tingkat balas jasa riil terhadap aset finansial domestik menjadi rendah (bahkan seringkali negatif), sehingga dapat mengganggu mobilisasi dana domestik dan bahkan dapat mengurangi tabungan domestik yang menjadi sumber dana investasi. 
  2. Kedua, inflasi dapat menyebabkan daya saing barang ekspor berkurang dan dapat menimbulkan defisit dalam transaksi berjalan dan sekaligus dapat meningkatkan utang luar negeri. 
  3. Ketiga, inflasi dapat memperburuk distribusi pendapatan dengan terjadinya transfer sumber daya dari konsumen dan golongan berpenghasilan tetap kepada produsen. 
  4. Keempat, inflasi yang tinggi dapat mendorong terjadinya pelarian modal ke luar negeri. 
  5. Kelima, inflasi yang tinggi akan dapat menyebabkan kenaikan tingkat bunga nominal yang dapat mengganggu tingkat investasi yang dibutuhkan untuk memacu tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu (Hera Susanti dkk, 1995).


Laju Inflasi di Indonesia Periode 1990-1997
Pada tabel laju inflasi berikut dapat dilihat bahwa sejak tahun 1990-an, laju inflasi di Indonesia memang cukup tinggi, terlebih-lebih selama krisis moneter. Pada tahun 1997, tingginya tingkat inflasi Indonesia disebabkan karena terjadinya krisis moneter yang melanda beberapa negara Asia. Soedrajat Djiwandono dalam Agustinus Suryantoro (2000) menyatakan bahwa krisis nilai tukar di Thailand menyebar cepat ke negara-negara Asia lain termasuk Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya contangion effect atau efek berantai sebagai akibat terintegrasinya pasar domestik ke dalam pasar keuangan global Inflasi. Kondisi lebih buruk terjadi dalam perekonomian Indonesia, dimana krisis tersebut berdampak pada perekonomian Indonesia, yakni penurunan pertumbuhan ekonomi.
Laju Inflasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1997 – 2011 (persen)
TAHUN
INFLASI
(PERSEN)
PERTUMBUHAN EKONOMI
(PERSEN)
1997
11,05
4,65
1998
77,63
-13,10
1999
2,01
0,79
2000
9,35
4,92
2001
12,55
3,45
2002
10,03
3,69
2003
5,06
4,10
2004
6,40
5,10
2005
17,11
5,60
2006
6,60
6,10
2007
6,59
5,80
2008
11,06
5,30
2009
2,78
5,40
2010
6,96
6,90
2011
3,79
6,50
Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 1997-2011

Krisis ekonomi juga menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi negara disertai dengan peningkatan inflasi. Munculnya inflasi tahun 1997 di Indonesia menyebabkan turunnya pertumbuhan ekonomi dan peningkatan inflasi secara signifikan. Imbas dari pada krisis ekonomi 1997 paling dirasakan dampaknya pada tahun 1998, dimana pertumbuhan ekonomi mencapai kontraksi dengan pertumbuhan minus 13,3%, hyperinflasi juga terjadi di Indonesia dengan tingkat inflasi 77, 63%. Selanjutnya pada tahun 1999, laju inflasi sudah dapat dikendalikan seiring dengan membaiknya kondisi moneter di Indonesia menjadi sebesar 2,01%. Memasuki tahun 2000 stabilitas moneter cukup terkendali dengan tingkat inflasi sebesar 9,35% dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8%. Dalam perkembangannya setiap tahun inflasi terus berfluktuasi hingga mencapai angka tertinggi sebesar 17,11% pada tahun 2005 dan tingkat pertumbuhan ekonomi 5,1%. Inflasi dalam perkembanganya menunjukkan angka yang meningkat mencapai di atas 11% pada akhir 2008 dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil di angka sekitar 5,3%. Inflasi sempat menurun hingga kisaran 2-3% pada 2009, tetapi kemudian meningkat lagi pada level 6,96% di akhir tahun 2010. Melanjutkan perkembangan di akhir tahun 2010, selama triwulan I 2011 inflasi masih berada di level yang tinggi, mendekati 7%, yang antara lain dipicu oleh tingginya inflasi volatile food dan inflasi inti. Laju inflasi Indonesia sepanjang tahun 2011 tercatat sebesar 3,79 persen dimana perekonomian tumbuh sebesar 6,5%.

Inflasi sering diartikan sebagai kecenderungan naiknya harga secara umum dan terus menerus, dalam waktu dan tempat tertentu (Korteweg, 1973; Ackley, 1978; Nopirin, 1997; serta Boediono, 2001). Keberadaannya sering diartikan sebagai salah satu masalah utama dalam perekonomian negara, selain pengangguran dan ketidakseimbangan neraca pembayaran. Inflasi akan menyebabkan turunnya pendapatan riil masyarakat yang memiliki pendapatan tetap. Karena dengan penghasilan yang relatif tetap, mereka tidak dapat menyesuaikan pendapatannya dengan kenaikan harga yang disebabkan karena inflasi. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki penghasilan yang dinamis (pedagang dan pengusaha misalnya), seringkali mendapat manfaat dari adanya kenaikan harga tersebut, dengan cara menyesuaikan harga jual produknya. Dengan demikian pendapatan yang mereka peroleh secara otomatis akan tersesuaikan, dan tidak jarang dengan persentase yang lebih besar. Didalam penjelasannya, Nopirin (2000: 32), menyebut dampak pertama ini dengan sebutan efek terhadap pendapatan (Equity Effect).

Inflasi dapat menurunkan nilai tabungan masyarakat, sehingga masyarakat akan cenderung memilih menginvestasikan dananya dalam aktiva yang lebih baik. Dengan kecenderungan ini, dunia perbankan akan mengalami kesulitan likuiditas, dan sebagai salah satu sumber perolehan dana bagi sektor riil, hal ini tentu tidak menguntungkan. Inflasi akan menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi terhambat. Misalnya, di sektor pedagangan luar negeri, komoditi ekspor Indonesia menjadi kurang dapat bersaing dengan komoditi sejenis di pasar dunia. Dengan kata lain, kemerosotan produksi akan terjadi, baik untuk produk yang berorientasi ekspor maupun produk untuk pasar domestik. Hal ini sangat berbahaya karena dapat memicu meningkatnya pengangguran di suatu negara (Khalwaty, 2000: 33), dan juga (Korteweg, 1973).

Di sisi kurs valuta asing, Rupiah akan semakin terdepresiasi terhadap mata uang asing, yang pada gilirannya akan menimbulkan masalah lain yang tidak kalah seriusnya, seperti membengkaknya kewajiban pemerintah terhadap kreditur luar negeri. Menurut Harvey (1988: 354) inflasi akan mempengaruhi kinerja perdagangan suatu negara yang tercermin dalam neraca perdagangannya. Terakhir, inflasi yang tidak terkendali dapat mendorong terjadinya capital outflow ke luar negeri. Pemilik modal akan lebih memilih menginvestasikan dananya di negara yang lebih menguntungkan. Begitu pula akan terjadi relokasi sektor manufaktur / riil ke negara yang memiliki cost production yang lebih rendah.

Bank Indonesia, sebagai pemegang otoritas moneter tertinggi di Indonesia mempunyai tugas yang tidak mudah, yaitu menjaga stabilitas ekonomi. Suatu perekonomian dapat dikatakan stabil salah satunya indikatornya adalah apabila inflasi ini dapat dikendalikan dalam range yang moderat. Dan bila hal itu tercapai maka hal itu merupakan kesuksesan dari sebuah lembaga pemegang otoritas moneter tertinggi. Kestabilan ini sangat penting artinya bagi pembangunan ekonomi di Indonesia. Perekonomian tidak dapat bertumbuh dan mencapai kemapanan apabila kestabilan ekonomi tidak bisa diraih. Kita memang tidak bisa melimpahkan semua masalah stabilisasi ekonomi ini kepada bank sentral, namun setidaknya dengan berbagai power dan kewenangan yang dimilikinya, Bank Indonesia seyogyanya mampu berbuat banyak untuk menjalankan fungsi stabilisasi yang amat krusial bagi pembangunan ini.

Penempatan inflasi sebagai sasaran akhir, tidak berarti Bank Indonesia mengabaikan sasaran makro ekonomi lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Justru pengendalian inflasi tersebut dimaksudkan untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja pada tingkat kapasitas penuh. Disamping itu, mengingat adanya trade-off jangka pendek antara inflasi dan pertumbuhan, mentargetkan inflasi secara otomatis identik dengan mentargetkan pertumbuhan, dengan kata lain, dalam menetapkan target inflasi, Bank Indonesia sudah mempertimbangkan seberapa tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi yang akan dicapai dengan tingkat inflasi tersebut.

Perbandingan Inflasi dengan Jumlah Uang Beredar
Pada tabel Perbandingan Inflasi dengan jumlah uang beredar (JUB) dapat dilihat bahwa jumlah uang beredar M2 (broad money) terus mengalami peningkatan jumlah dari 1997 hingga 2006. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa perubahan jumlah uang beredar di Indonesia menyebabkan perubahan yang proporsional terhadap inflasi. Dapat diartikan bahwa perubahan tingkat inflasi di Indonesia sebagai akibat perubahan harga dalam periode tersebut cukup banyak dipengaruhi oleh jumlah uang beredar.

Perbandingan Inflasi, Jumlah Uang Beredar (M2), dan Pertumbuhan JUB tahun 1997-2006
TAHUN
INFLASI
(PERSEN)
JUB (M2)
(TRILYUN RUPIAH)
PERTUMBUHAN JUB
(PERSEN)
1997
11,05
355,64
23,20
1998
77,63
577,38
62,40
1999
2,01
646,21
11,90
2000
9,35
747,03
15,60
2001
12,55
844,05
13,00
2002
10,03
883,91
4,70
2003
5,06
955,69
8,10
2004
6,40
1033,53
8,10
2005
17,11
1203,22
16,40
2006
6,60
1382,07
14,90
Sumber: Key Indicators 2006 dan 2007, ADB

Perbandingan Inflasi dan Nilai Tukar tahun 1997-2011
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan dipicu oleh melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika telah mengarahkan pada diadopsinya sistem nilai tukar mengambang atau free floating exchange rate (Suryanto, 2003). Indonesia telah beberapa kali menerapkan kebijakan tentang nilai tukar rupiah dan terakhir pada 14 Agustus 1997, Indonesia menerapkan nilai tukar mengambang bebas ( free floating exchange rate ) yang artinya nilai tukar Rupiah sepenuhnya ditentukan oleh interaksi permintaan dan penawaran valas di pasar valas. Setelah melepaskan BI band intervensi pada Agustus 1997, kurs rupiah terus terkoreksi dengan terdepresiasinya kurs rupiah hampir 100 persen terhadap Dollar Amerika. Dalam rentang waktu satu dekade semenjak diberlakukanya free floating exchange rate posisi terendah (depresiasi rupiah) kurs rata-rata tahunan adalah pada tahun 2001, dengan rata-rata Rp 10.400,00/USD, seperti terlihat dalam tabel 1.3 berikut:

Perbandingan Inflasi dan Nilai Tukar tahun 1997-2011
TAHUN
INFLASI
(PERSEN)
NILAI TUKAR
(RUPIAH/US DOLLAR)
1997
11,05
4.650
1998
77,63
8.025
1999
2,01
7.085
2000
9,35
9.595
2001
12,55
10.400
2002
10,03
8.940
2003
5,06
8.465
2004
6,40
9.290
2005
17,11
9.830
2006
6,60
9.020
2007
6,59
9.416
2008
11,06
10.950
2009
2,78
9.400
2010
6,96
8.991
2011
3,79
9.068
Sumber: Bank Indonesia, Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, 1997-2011

Perbandingan Tingkat Bunga di Indonesia Periode 2000-2008
Berdasarkan grafik Perbandingan Tingkat Bunga Indonesia dan Dunia dibawah, dapat dilihat bahwa tingkat bunga Indonesia (tingkat bunga SBI 1 bulanan) dalam grafik di simbolkan dengan RI dan tingkat bunga dunia (suku bunga LIBOR 1 bulanan) dalam grafik disimbolkan dengan RA terlihat perbedaan fluktuasinya. Tingkat bunga Indonesia (RI) cenderung tinggi dengan rata-rata 11,05394 persen dan tingkat bunga dunia cenderung berfluktuasi pada kisaran yang lebih rendah dengan rata-rata 3,625758 persen. Perbedaan tingkat bunga Indonesia dan luar negeri juga dapat diketahui dengan melakukan uji beda varian, dimana varian untuk tingkat bunga dunia sebesar 11,50736 dan varian tingkat bunga dunia sebesar 9,4178 (Sumber: Bank Indonesia, diolah).

Perbandingan Tingkat Bunga Indonesia dan Tingkat Bunga Dunia Periode 2000.2 – 2008.3

Menurut Mankiw (2007), perbedaan tingkat bunga internasional dan domestik disebabkan oleh dua alasan, pertama: Resiko negara yang dicerminkan oleh resiko politik karena memberi pinjaman disebuah Negara, dan kedua: perubahan yang diharapkan dalam kurs riil. Ekspektasi bahwa mata uang akan kehilangan nilainya di masa depan akan menyebabkan mata uang itu kehilangan nilainya saat ini. Sehingga tingkat bunga domestik ditentukan oleh tingkat bunga dunia ditambah dengan resiko politik. ( r = r* + ? ).

Perkembangan inflasi pada masa sebelum terjadinya krisis moneter cukup berimbang dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Pada masa ini peningkatan pada jumlah uang beredar diakibatkan defisit anggaran belanja yang dibiayai dengan pencetakan uang dan pinjaman luar negeri yang semakin besar sehingga dapat dikatakan sektor moneter merupakan penyebab munculnya inflasi. Faktor penyebab inflasi disebabkan ekspansi yang cepat dalam jumlah uang beredar diakibatkan besarnya defisit anggaran pemerintah secara terus menerus guna membiayai pembangunan padahal penerimaan pajak tidak mencukupi. Namun setelah terjadinya krisis moneter inflasi yang terjadi lebih disebabkan oleh imported inflation yaitu naiknya biaya produksi dimana sebagian besar proses produksi memiliki kandungan impor yang cukup tinggi seperti mesin-mesin produksi dan terpuruknya rupiah makin memicu tingginya inflasi di Indonesia.

Berfluktuasinya tingkat inflasi di Indonesia dengan beragam faktor yang mempengaruhi mengakibatkan semakin sulitnya pengendalian inflasi, sehingga dalam pengendaliannya pemerintah harus mengetahui faktor-faktor pembentuk inflasi. Inflasi di Indonesia bukan saja merupakan fenomena jangka pendek, seperti dalam teori kuantitas dan teori inflasi Keynes, tetapi juga merupakan fenomena jangka panjang (Baasir, 2003:267).


Sumber:
Nugroho, (2012). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Di Indonesia Periode 2000 – 2011. Skripsi S1, Program Sarjana Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro Tahun 2012

Post a Comment for "Inflasi Di Indonesia Periode 2000 – 2011"